oleh : Chairil Anwar
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela.
Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Hujan menebal jendela.
Semarang, Solo, makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Sajak “Dalam Kereta”
dibuka oleh dua baris berbunyi:
Dalam Kereta
Hujan menebal jendela
Hujan menebal jendela
Dua baris itu langsung
menyajikan suasana terkurung –mungkin(?) juga pengap. Chairil menggambarkan
suasana yang dikurung oleh dua lapisan sekaligus: sudah berada
(1) di “dalam kereta”,
(2) masih pula
keretanya diguyuri hujan yang “menebali jendela”.
Tentu saja tidak
semua penumpang yang berada dalam kereta yang ditebali hujan lebat
akan merasakan suasana pengap dan muram. Penumpang yang sedang
jatuh cinta atau yang baru saja naik pangkat akan tersenyum-senyum dan
menikmati rinai hujan di luaran sebagai simfoni indah yang berdentang dalam
dada. Hanya saja, baris-baris berikutnya lebih menunjukkan aura mencekam
ketimbang riang.
Semarang, Solo? Makin
dekat saja
Menangkup senja
Menguak purnama
Menangkup senja
Menguak purnama
Dua baris berikutnya
dari sajak ini menunjukkan bahwa kereta yang dimaksud sedang menuju Semarang
dan/atau Solo. Tapi, kenapa di situ Chairil menyebutkan dua kota tujuan
sekaligus? Kenapa tidak salah satu saja? Yang mana yang benar? Adakah Chairil
sedang menggambarkan kebingungan menentukan tujuan? Atau memang belum tahu tujuan?
Tak bisa tidak, suasana ketidakpastian sudah menelisut di situ.
Kendati belum jelas
dan pasti kota apa yang dituju, Chairil sepertinya sudah cukup jelas punya
tujuan dari perjalanannya yaitu hendak “menangkup senja” dan “menguak
purnama”. Mungkin senja akan ditangkup di Semarang sementara purnama
akan dikuak di Solo.
Yang jelas, di situ
Chairil menunjukkan satu target atau obsesi (“menangkup senja” dan “menguak
purnama”). Tapi, target atau kehendak itu rasanya sedikit aneh dalam kosa kata
sajak-sajak Chairil. Biasanya, atau lebih banyak, Chairil menguarkan obsesi dan
tekad dengan bahasa yang lugas, tegas dan seringkali seperti hentakan dari
ujung sebuah orasi yang menggelegar, macam: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Objek dari target atau
obsesi atau tekad itu ternyata “senja” dan “purnama”; dua hal abstrak yang
seringkali dirujuk untuk menggambarkan suasana hati yang teduh, indah,
pendeknya jauh dari sesuatu yang hiruk-pikuk, menggelegar atau
tantang-menantang.
Caya menyayat mulut
dan mata
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa.
Sayatan terus ke dada.
Tiga baris terakhir
sajak Chairil makin menyempurnakan kemuraman, rasa perih dan mencekamyang
sudah disiapkan Chairil sejak baris pertama itu dalam satu pukulan ironi yang
menggambarkan kepasrahan untuk dicincang-cincang:
Semarang atau Solo,
dua kota yang dibayangkan sebagai tempat untuk “menangkup senja” dan “menguak
purnama”, ternyata “sengaja didatangi” justru untuk membiarkan diri, mulut dan
mata disayat ca(ha)ya, sayatan yang begitu kuat sampai-sampai mampu
menjengkingkan kereta dan jiwa. Di situlah irononya bercokol.
KESIMPULAN
- Sajak
ini begitu imajinatif menggambarkan rasa pedih dan perih. Fakta bahwa uraian
imajinatif ihwal rasa pedih dan perih itu digambarkan melalui metafora “kereta”
Perlahan-lahan pembaca
diajak merasakan suasana pedih dan perih yang sedetik demi sedetik makin
menyayat-nyayat, dari mulai mata… mulut… lantas terus turun menyayati dada.Ada
sejumput kesan masokisme di situ; tentang Chairil yang mengajak pembaca
menikmati segala pengalaman pedih dan perih yang menghunjam dengan perlahan
namun dengan tingkat kepastian yang –tak bisa diragukan—akan terus merambat
hingga dada.
Dan Chairil
memercayakan semua lakon (bernada) masokis itu dipanggungkan di atas
gerbong-gerbong kereta, bukan truk atau sedan atau kapal laut. Kenapa dengan
kereta? Selain soal fakta bahwa Chairil sering bepergian ke kota-kota yang jauh
dengan kereta dan arti penting kereta pada zaman itu, adakah alasan lain kenapa
Chairil memilih kereta?
Kereta memang jauh lebih
memungkinkan pengalaman mencekam dan liris itu ditelan dalam dada,
lebih dari kapal laut atau pesawat terbang apalagi mobil. kereta memiliki ruang
yang memungkinkan imajinasi lebih leluasa berkembang
0 komentar:
Posting Komentar