0

Memahami makna dzikir



            Dzikir dalam kamus bahasa indonesia berarti : puji-pujian yang diungkapkan berkali-kali dan ditujukan kepada Allah.
            Sedangkan asal kata dzikir adalah bahasa arab dengan kata dasar dzakara, artinya mengingat , menyebut. Dalam kamus Mukhthar al-shihhah , karya Imam Muhammad bin abdil qadir al-razi arti dzakara  [ingat] berarti lawannya nisyan [lupa]. Al- dzikru , al- shittu [pujian] wa al sanna[pujian].
            Dalam kitab al-kulliyat karya abu al- baqa’ , dzikir mempunyai dua makna , pertama menyebutkan ssuatu. Kedua mengingat sesuatu diakal yang tidak ada dihadapannya/ goib. Dan dzikir menurut istilah adalah lafadz-lafadz yang ada riwayat yang menyarankannya ( hadis atau ajaran para ulama).

0

Puisi



Archimedes dan Aristoteles takkan mengerti
Medan magnet yang berinduksi diantara kita
                Newton dan Edison juga tak sanggup
                Merumuskan E= mc2
                Ah, tak sebanding dengan momen cinta kita
Oh para fisikawanku
Pertama kali bayanganmu jatuh tepat di fokus hatiku
Maya, terbalik dan diperkecil
Dengan kekuatan lensa maksimum, kemudian tampak
Nyata, tegak diperbesar
Bagai tetes minyak milikan jatuh
Di ruang hampa
                Wahai ibu bapak pembimbingku
                Engkaulah fisikawanku
                Dan aku, penerus perjuanganmu, fisikawan muda
                Yang baru terseleksi oleh medan cintamu
Cintaku lebih besar dari bilangan Avogrado
Walau jarak kita bagai matahari dan Pluto
Saat aphelium
Amplitude gelombang hatimu
Berinterferensi dengan hatimu
Seindah gerak harmonik sempurna
                Tanpa gaya pemulih
                Bagai kopel gaya dengan kecepatan
Angular yang tak terbatas
Energi mekanik cintaku tak terbendung oleh friksi
Energi potensial cintaku tak terpengaruh
Oleh tetapan gaya
Bahkan hokum kekekalann energi
Tak dapat menandingi
Hukum kekelan cinta natara kkita
Lihat hukum cinta kita
Momen cintaku tegak lurus dengan momen cintaku
Menjadikan cinta kita sebagai titik equilibrumm
Yang sempurna
Yang tak kan tertembus oleh kuatnya sinar gamma
                Dengan inersia tak terhingga
                Tak kan tergoyahkan implus atau momentum gaya
                Inilah momentum resultan cinta kita
                Cinta antara engkau dan aku
                Antara fisikawan dengan fisikawan muda
               

0

Lembah Suci Thuwa

“Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, sebab itu tanggalkanlah kedua terompahmu, karena engkau telah berada di Lembah Suci Thuwa “ (QS. Thaha 20 : 12)
 
Lembah Suci Thuwa adalah pusat pendadaran bagi Jiwa-Jiwa yang diutus ke bumi untuk dapat mengenali misi hidupnya. Hidup dalam cinta dan kebijaksanaan, hidup penuh keseimbangan antara kehidupan batin dan kehidupan duniawi. Kehidupan penuh kesempurnaan.

Lembah Suci Thuwa adalah warisan bagi orang-orang yang haus akan Cinta dan Cahaya. Mereka yang telah dibangunkan dari tidur lelapnya, yang segera menyingsingkan selimut tebal keduniawiannya, untuk bangun di sepertiga malam. Mereka yang selalu siap menanggalkan terompah ke-aku-an, dan datang bersimpuh di mulut Gua Hirah - Jabal Nur untuk menyatakan ampunan. Melepaskan keangkuhan diri dan selalu belajar akan indahnya bercumbu seperaduan dalam bilik dengan Allah sang Maha Cinta.
Lembah Suci Thuwa adalah warisan keramat Ilahi, untuk mereka yang siap berjalan dalam kesadaran penuh akan keagungan Tuhan Semesta Alam. Mereka yang siap menjadi kembara dalam biduk bahtera dunia untuk mengais butir-butir mutiara yang tertutupi limbah dan sampah dunia. Ianya adalah pintu bagi para pengembara...., yang terus-menerus istiqomah mengarungi relung-relung Cahaya Ilahi (Nurun Ala Nurin). Dalam menyibak rahasia diri hingga tertambat dihati; sebuah kesempurnaan Cinta, harmoni dan keindahan; sebuah ketenangan dalam diam.

Inilah sebuah jalan sempurna dalam menempuh tujuan hidup, yaitu Allah Sang Pencipta. Tempat kembali yang Maha indah. Adakah jalan yang lebih baik selain ini? Lembah Suci Thuwa adalah tempat dimana kita mampu menemukan dan mengenali diri pribadi kita.
Ada sebuah keterangan yang mengatakan; bila anda mencari Tuhan keluar dari diri maka semakin jauhlah anda dari-Nya. Maka jalan terbaik adalah kembalilah menelusuri siapa kita dengan memulainya dari diri pribadi dan mengakhirinya pula dengan mengenal diri pribadi. Ingatlah keterangan yang mengatakan “Man Arafa Nafsahu Faqod Arafa Robbahu, Waman Arafa Robbahu Faqod Jahilan Nafsahu” Barang siapa yang mengenal diri pribadinya dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal Tuhannya maka akan bodohlah dia.

Jadi barang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya maka ia akan menyadari bahwa yang ada diseluruh jagad raya ini adalah perwujudan Allah, yang memiliki kebisaan, kepintaran, pengetahuan dan kekuasaan. Hanya Allah. Sedang diri kita hanyalah boneka yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sebagaimana diterangkan “bukan kamu yang melempar tapi aku yang melempar, bukan kamu yang membunuh tapi aku yang membunuh, bukan mulutmu yang berbicara tapi aku yang bicara dan seterusnya”

Lembah Suci Thuwa juga memiliki makna yang hampir sama dengan bangunan yang dibangun Allah sejak manusia diciptakan (Baitullah=Rumah Allah), semakna juga dengan suasana dan kondisi diri manusia yang mencapai nafsu Mutmainah atau Masjidil Aqsa yang dikunjungi saat mikraj, yaitu Masjidil Aqsa yang hakiki. Perumpamaan-perumpamaan ini dibuat untuk memilih manakah diantara hamba Allah yang mau berpikir, yang mau merenungkan makna sesungguhnya dibalik perumpamaan yang ada.


0

Percayalah


by: Last Child

Ujian hidup yang selalu menerpamu
Yang berjuang untuk hidup yang hanya sementara
Rasa perihnya hujan di hatimu
Yang diberikan oleh rasa yang hanya sementara
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Kita hidup di dunia yang penuh tanda tanya
Yang tak mungkin kau ubah dan terpaksa mengikutinya
Kita berada di antara benar atau salah
Yang tak mungkin dapat kau ukur dengan rasa
Berdoalah, sampaikan pada Tuhan semua keluh kesahmu
Dia kan menjawabnya
Percayalah, dia kan menunjukkan kasihNya padamu
Melalui jalannya, percayalah
Wahai kamu yang tak seperti mereka
Yang terlihat cerah menjalani hidupnya
Pandangan hidup yang selalu lihat ke atas saja
Jadi pemicu keinginan yang tiada habisnya
Bersujudlah, akui pada Tuhan semua kelemahanmu
Dia kan menguatkannya
Memohonlah, Dia kan memberikan yang terbaik untukmu
Melalui caraNya, percayalah
Berdoalah, sampaikan pada Tuhan semua keluh kesahmu
Dia kan menjawabnya
Percayalah, dia kan menunjukkan kasihNya padamu
Melalui jalannya, percayalah
Bersujudlah, akui pada Tuhan semua kelemahanmu
Dia kan menguatkannya
Memohonlah, Dia kan memberikan yang terbaik untukmu
Melalui caraNya, percayalah

0

KULI KONTRAK

by: Mochtar Lubis

Lampu-lampu di beranda dan kamar depan telah dipadamkan. Ayah sedang menulis di kamar kerjanya. Dan kami anak-anak berkumpul di kamar tidur ayah dan ibu, mendengarkan cerita ibu sebelum kami disuruh tidur. Ibu bercerita tentang seorang pelesit, pemakan orang, yang dapat menukar-nukar tubuhnya dari manusia menjadi macan dan kemudian jadi manusia kembali, berganti-ganti.

  Untuk mengenal pelesit itu orang harus melihat bandar bibirnya yang licin di bawah hidung, dan kalau ia berjalan maka tumitnya yang ke depan. Sungguh amat menakutkan dan mengasyikkan cerita ibu itu, dan kami duduk sekelilingnya berlindung dalam selimut; agak ketakutan, amat menyenangkan benar.

Sedang kami begitulah tiba-tiba terdengar ribut di luar rumah dan kemudian terdengar opas penjaga rumah kami berteriak-teriak memanggil ayah dari luar:

- Inyik! Inyik!

  Kami semua terkejut. Ibu berhenti bercerita. Ayah terdengar bergegas membuka pintu kamar kantornya dan terus ke beranda.

  - Aduh, ada lagi kampung yang perang, barangkali, seru ibu. Dan kami pun mengikutinya ke beranda.

Di masa itu ayah bekerja sebagai demang di Kerinci dan dalam tahun dua puluhan dan tiga puluhan itu keadaan daerah itu seperti di masa abad pertengahan saja. Karena soal pembagian air sawah, soal kerbau dan sebagainya, satu kampung lalu menyatakan perang kepada kampung yang lain. Senjata yang populer dipakai dalam perang ini ialah batu sebesar telur ayam diayunkan ke arah musuh dengan tali-tali istimewa untuk pengayunkannya. Baru semingguan yang lalu ayah pergi ke Sungai Deras menghentikan perang semacam ini dan dia kena peluru batu kesasar yang merenggutkan topi helmnya dari kepalanya. Untunglah tidak tepat, kenanya. Hanya pening juga kepala ayah beberapa lama dibuatnya.

  Baru setelah perkelahian dapat dihentikan oleh polisi dengan menembakkan senapan berkali-kali ke udara dan kedua kepala kampung dari desa yang berperang itu dipertemukan, dan mereka mendengar ayah nyaris kena lemparan batu mereka yang berperang, maka kepala-kepala kampung itu meminta-minta maaf dan ampun, dan berkata bahwa mereka tidak bermaksud memerangi ayah sama sekali. Akhirnya karena menyesalnya mereka dengan batu yang menyasar itu, maka dengan mudah mereka menerima usul perdamaian ayah dan membagi air untuk sawah-sawah mereka dengan berdamai.

  Ketika opas penjaga rumah berteriak-teriak memanggili ayah, hari hampir jam sembilan malam. Di bawah, beberapa orang polisi dengan komandannya berdiri, dan tidak terdengar olehku mula-mula apa katanya pada ayah. Kami segera juga disuruh masuk, oleh ayah, kembali.

  Ayah masuk sebentar dan dengan cepat berpakaian. Dia mengenakan sepatu kulitnya yang panjang, mengenakan pistolnya di pinggangnya, topi helmnya, dan kemudian segera ke luar.

  Tiada lama kemudian ibu masuk, dan berkata:
  — Nah, kini anak-anak semua, tidurlah. Ayah mesti pergi. Ada kuli kontrak lari. Kelihatan ibu merasa cemas di hatinya.

  Esok pagi kami dengar dari Abdullah, opas penjaga rumah bahwa ada lima kuli kontrak yang melarikan diri dari onderneming Kayu Aro, setelah menikam opzichter Belanda.

***

Ketika kami pulang sekolah jam 12 siang, ayah belum kembali juga. Ketika dekat magrib, ayah belum juga pulang. Ibu mulai cemas dan sebentar-sebentar dia ke depan melihat ke jalan. Beberapa kali aku dengar ibu bercakap-cakap dengan opas Abdullah, yang berkata supaya ibu jangan khawatir.

Ayah tiba ketika hari telah malam dan kami semua telah disuruh tidur. Aku dengar ayah bercakap-cakap dengan ibu sampai jauh malam dan kemudian rumah pun sunyilah.

   Esoknya kami dengar bahwa kuli-kuli kontrak itu telah tertangkap semuanya dan telah dibawa ke penjara. Penjara terletak di bawah bukit kecil di belakang rumah kami. Dari kebun buah-buahan dan sayur di belakang rumah, jika kami naik pohon jeruk yang besar, dapatlah dilihat lapangan belakang penjara, tempat orang hukuman dibariskan tiap hari atau diberi hukuman.

Dari kebun itulah terdengar suara orang gila yang ditahan dalam penjara, menyanyi-nyanyi atau memaki-maki. Mengapa di masa itu orang gila dimasukkan penjara dan tidak ke rumah sakit tidak jadi pertanyaan bagiku, waktu itu. Kadang-kadang asyik juga aku mendengarkan nyanyiannya yang beriba-iba, kemudian lantang mengeras, dan lebih hebat lagi jika telah mulai memaki-maki, amat sangat kotornya kata-katanya. Sungguh sedap selagi kecil itu dapat mendengar perkataan-perkataan yang terlarang demikian.

 Kemudian ibu bercerita bahwa ayah dan polisi dapat menangkap tiga orang kuli kontrak yang melawan opzichter Belanda itu. Hanya tiga orang, tidak lima orang seperti diceritakannya semula. Mereka tertangkap dalam hutan tidak jauh dari onderneming, separuh kelaparan dan kedinginan dan penuh ketakutan. Mereka tiada melawan sama sekali. Dan ketika melihat ayah maka mereka segera datang menyerah dan berkata: - Pada kanjeng kami menyerahkan nasib dan memohon keadilan.

Menurut ibu, yang didengarnya dari ayah, sebabnya terjadi penikaman terhadap opzichter Belanda itu karena opzichter itu selalu mengganggu istri mereka. Dan rupa-rupanya kuli-kuli kontrak itu sudah mata gelap dan tak dapat lagi menahan hati melihat opzichter itu mengganggu istri-istri mereka. Itulah maka mereka memutuskan ramai-ramai menyerang si opzichter.

- Tidak salah, mereka itu, kata ibu yang rupanya merasa gusar sekali melihat kuli-kuli kontrak yang ditangkap itu. Mestinya opzichter jahat itulah yang ditangkap, tambah ibu.

- Mengapa tidak ditangkap, dia? tanya kami anak-anak.

Ibu memandangi kami, dan berkata dengan suara yang lunak,

- Karena yang berkuasa Belanda! Belanda tidak pernah salah.
    - Tetapi dia yang jahat, kata kami mendesak ibu.
- Ibu tidak mengerti,  sahut ibu; tapi jangan kamu tanya-tanya pada ayah tentang ini. Dia sudah marah-marah saja, sejak pulang dari onderneming.                                

   Ketika ayah pulang kantor dan setelah dia makan, maka kami semua dipanggil ke kamar kerjanya. Kelihatan muka ayah agak suram. Sesuatu yang berat menekan pikirannya. Setelah kami berkumpul, maka ayah berkata:
   - Tidak seorang yang boleh ke sana. Ayah larang anak-anak pergi ke kebun belakang. Ayah akan marah sekali pada siapa saja yang melanggar larangan ini.
   - Mengapa, ayah? tanya kami.
   -_  Turut saja perintah ayah! sahut ayah dengan pendek.

   Kami pun mengerti. Jika ayah telah bersikap demikian tak ada gunanya membantah-bantah. Tapi hati kami penuh macam-macam pertanyaan: Mengapa dilarang? Ada apa?

Segera juga ibu kami serbu, hingga akhimya untuk mendiamkan kami ibu pun berkata bahwa esok hari ketiga kuli kontrak itu akan diberi hukuman. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim maka mereka akan dilecuti, karena telah menyerang opzichter Belanda.

  Kecut hatiku mendengar cerita ibu. Rasanya badanku dingin menggigil. Dan setelah masuk kamar tidur, amat lama baru aku bisa tidur. Pikiranku terganggu mendengar kuli-kuli kontrak yang akan dilecuti esok pagi di penjara. Ketakutan berganti-ganti dengan nafsu hendak melihat betapa manusia melecut manusia dengan cemeti.

  Pagi-pagi saudara-saudaraku yang harus ke sekolah telah berangkat. Dan kami yang belum bersekolah diberi tahu lagi oleh ayah dan ibu supaya jangan pergi ke kebun di belakang rumah kami.                                            

 Dari opas Abdullah kudengar mereka akan dilecut mulai jam sembilan pagi. Semakin dekat jam sembilan semakin resah dan gelisah rasa hatiku. Hasrat hatiku melihat mereka dilecut bertambah besar saja.
Ketika hari telah hampir lima menit menjelang jam sembilan hatiku tak dapat lagi kutahan, dan sambil berteriak pada ibu bahwa aku pergi bermain ke rumah sebelah maka aku lari ke luar pekarangan di depan rumah, ke jalan besar, berlari terus memutarjalan ke jalan besar di belakang rumah, masuk pekarangan rumah sakit, terus berlari ke belakang rumah sakit yang berbatasan dengan kebun di belakang rumah kami, memanjat pagar kawat, meloncat ke dalam kebun, dan dengan napas terengah-engah memanjat pohon jeruk, hingga sampai ke dahan di atasnya tempat aku biasa duduk dan melihat-lihat ke bawah , ke pekarangan belakang rumah penjara.

    Pekarangan itu ditutupi batu kerikil. Di tengah-tengahnya telah terpasang tiga buah bangku kayu. Sepasukan kecil polisi bersenjata senapan berdiri berbaris di sisi sebelah kiri. Kemudian kulihat ayah keluar dari gang menuju pekarangan di belakang penjara, di sebelahnya kontrolir orang Belanda, asisten wedana, polisi, dokter rumah sakit. Dan kemudian dari gang lain keluarlah tiga orang yang akan dilecuti itu. Mereka hanya memakai celana pendek dan tangan mereka diikat ke belakang, diiringi oleh kepala rumah penjara dan dua orang polisi.

   Hatiku berdebar-debar, dan takut kembali meremasi perutku. Akan tetapi aku tak hendak meninggalkan tempat persembunyianku. Aku hendak melihat juga apa yang akan terjadi.

   Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang tidak bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku.

   Tiga orang mandor penjara kemudian maju ke depan, kira-kira 2 meter dari setiap bangku, di tangan mereka sehelai cemeti panjang yang hitam warnanya. Kemudian kepala penjara berseru:
  - Satu!

     Suaranya keras dan lantang. Tiga orang mandor penjara mulai mengayunkan tangan mereka ke belakang. Cemeti panjang    berhelak ke udara seperti ular hitam yang hendak menyambar,    mengerikan. Dan terdengarlah bunyi membelah udara, mendengung tajam; lalu bunyi cemeti melanggar daging manusia, yang segera disusuli jeritan kuli kontrak yang di tengah melonjakkan kepalanya ke belakang. Dari mulutnya yang ternganga itu keluarlah suara jeritan yang belum pernah aku dengar dijeritkan manusia: melengking tajam membelah udara, menusuk seluruh hatiku, dan membuat tubuhku seketika lemah-lunglai.

  Suatu ketakutan yang amat besar dan amat gelapnya, menerkam aku. Dan aku berpegang kuat-kuat ke dahan pohon jeruk, amat ketakutan.
   Dua! teriak kepala penjara lagi.
    Bunyi cemeti mendesing membelah udara beradu dengan punggung. Dan pada cambukan yang kedua mereka bertiga sama-sama menjerit, melengking-lengking kesakitan.

    Aku tak berani melihat lagi. Kututup mataku kuat-kuat, tapi tak kuasa aku menahan bunyi desing cemeti di udara, bunyi cemeti menerkam daging dengan gigi-giginya yang tajam, ratusan ribu banyaknya, dan jerit mereka yang kesakitan membelah langit melolong minta ampun. Entah berapa lama aku hidup dan mati demikian, bersama dengan mereka di atas bangku, tidaklah kuingat lagi. Ketika kubuka kembali mataku, kulihat dokter memeriksa ketiga kuli kontrak itu. Dan kemudian dia mengangguk pada kontrolir, dan kontrolir mengangguk kepada kepala rumah penjara, dan kepala rumah penjara pun berteriaklah lagi:
   — Dua puluh satu!
    Dan kembali cemeti berdesing membelah udara. Dan menerkam melingkari punggung yang telah hancur memerah darah. Hanya kini mereka tidak lagi menjerit. Ketiganya telah pingsan.

   Sehabis cambukan yang kedua puluh lima, kontrolir memberi isyarat. Kepala rumah penjara mundur selangkah dan memerintah. Ketiga orang mandor penjara tukang cambuk itu pun mundur, menggulung cambuk mereka yang telah merah penuh darah dan keping-kepingan daging manusia; mundur dan masuk ke dalam rumah penjara.
     Dokter kembali memeriksa kuli-kuli kontrak. Dan tali-tali pengikat mereka kemudian dilepaskan. Kontrolir kulihat menoleh pada ayah sambil mengatakan sesuatu. Pada saat itulah aku membuat kesalahan ...

    Karena amat sangat terpengaruh dengan apa yang kulihat, maka ketika hendak turun dan pohon aku salah meletakkan kakiku ke bawah dan menjerit terkejut, jatuh ke bawah amat sakitnya. Beberapa saat aku terhentak diam di tanah, dan kemudian aku menangis kesakitan. Opas Abdullah yang sedang berada di dapur datang ke belakang, melihat aku terbaring lalu cepat menggendongku ke rumah.

    Sikuku amat sakitnya. Ibu memeriksanya dan berkata:
    - Sikumu terkilir. Dan lalu ditambahnya: - Ayah akan marah sekali, engkau melanggar perintahnya. Mengapa kau di kebun?

    Aku hanya menangis. Aku segera dibawa ke rumah sakit dan setelah manteri rumah sakit menarik tanganku, yang rasanya menambah sakit sikuku saja, dan kemudian tanganku diperban, aku disuruhnya tidur dan tidak boleh bermain-main.

    Petangnya ayah pulang dari kantor. Aku ketakutan saja menunggunya. Setelah dia makan kudengar ibu bercakap-cakap  dengan ayah. Tentu mengadukan aku, pikirku dengan takut.

 Tak lama kemudian ayah datang melihat aku. Dia duduk di pinggir tempat tidur. Ditatapnya mukaku diam-diam, hingga aku pun terpaksa menundukkan mata.

   - Engkau melihat semuanya? tanya ayah.
   - Ya. Aku salah. Ayah, kataku dengan suara gemetar ketakutan.
  Ayah pegang tanganku dan kemudian berkata dengan suara yang halus sekali, akan tetapi yang amat sungguh-sungguhnya,

  - Jika engkau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri.Jadi pamong praja! Mengerti?
   - Ya,Ayah! jawabku.
  - Kau masih terlalu kecil untuk mengerti, kata ayahku. Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya.
 Kelihatannya ayah hendak meneruskan pembicaraannya. Tetapi dia lalu berhenti dan cuma berkata:
 - Ah, tidurlah engkau!
                                                Siasat Baru
                      No. 650, Th. XIII, 25 November 1959


Back to Top